Kamis, April 16, 2009

Tembuku




Bali merupakan tempat liburan yang paling diminati.Tak hanya oleh wisatawan domestik tapi juga oleh pelancong manca negara.Tak dipungkiri hal ini karena Bali memang memiliki tempat wisata yang sangat indah-indah. Sebut saja Pantai Kuta, Sanur,Tanah Lot, Kintamani dan sebagainya. Meski aku juga senang mengunjungi tempat-tempat wisata tersebut bila sedang piknik ke Bali tapi kali ini aku ingin bicara mengenai sisi lain dari Bali. Kebetulan salah satu sohibku keluarganya asal Bali. Meski ia lahir dan besar serta berdomisili di Surabaya tetapi karena nenek dan kerabatnya masih tinggal di Bali maka setahun sekali ia mesti pulang kampung ke Bali.Sekitar 5 tahun yang lalu aku bersama sohib-sohibku pernah ikut dia mudik ke Bali atau Bangli tepatnya,yaitu sebuah kota kecil yang perlu ditempuh sekitar1-2 jam dari Denpasar. Saat itu kami menempuh perjalanan darat dengan menggunakan kereta api dari Surabaya ke Ketapang dan langsung naik bis yangsudah disediakan PJKA hingga Ubung. Perjalanan dilanjutkan via Batu Bulan dengan menyewa kolt atau angkutan pedesaan.Karena waktu itu kami pergi beramai-ramai 6 orang kupikir supir angkot tak bakal menaikkan penumpang lainnya. Tetapi ternyata keliru di tengah jalan supir dan kernet menaikkan seorang ibu-ibu yang membawa barang bawaan buah nangka. Aku takbegitu memperhatikan tapi tahu-tahu saat si ibu itu turun di tengah jalan salah seorang teman yang ikut dalamrombongan kami membeli nangka itu. Kami sempat heran kok mau-maunya membeli nangka di jalan. Kenapa tidak nanti saja jika sudah diBangli tapi kami memilih membiarkan aja. Sesudah menempuh perjalanan yang cukup jauh melewati sawah, hutan, daerah naik turun maka kami pun sampai di tempat tujuan yaitu daerah bernama Tambunampun Tembuku Bangli. Kami disambut oleh keluarga sohibku yang lebih dulu berlibur di sana juga nenek dan para kerabatnya. Mereka menyambut kami dengan senang. Tapi saat melihat salah satu dari kami membawa buah nangka mereka langsung heran. "Kenapa beli buah nangka. Di sini buah Nangka banyak banget, sampai sampai biasa buat makan babi" kata bibi sohibku. Tak pelak hal itu mengundang tawa kami. Teman yang membeli buah nangka tersebut cuma bisa tersenyum kecut dan malu. Terus terang kami takjub saat sampai disana. Rumahnya lumayan bagus sama seperti rumah di kampung2 di Jawa. Bangunannya sudah lumayan modern dengan halaman yang cukup luas dengan berbagai jenis tanaman dan beberapa ekor babi sebagai binatang piaraan . Yang membedakan di halaman depan ada bangunan seperti gasebo. Bangunan tersebut biasa disebut sekenem dan biasa dipakai untuk tempat jenasah menunggu sebelum dibakar atau ngaben. Tak hanya itu pula di depan paviliun ada pura keluarga. Sepertinya hampir setiap rumah di Bali punya pura keluarga sendiri-sendiri. Sesudah senang-senang melepaslelah, sebagian dari kami memutuskan untuk tidur di paviliun depan. Tapi entah mengapa rasanya agak aneh saja aku melihat kamar di pavilun depan ini. Kami sempat ngakak-ngakak di depan kamar ini. Tapi begitu malam ternyata lampu di depan kamar tersebut padam sehingga kami berpikir ulang sebelum tidur di kamar itu. Apalagi belakangan kami diberi tahu bahwa kamar itu termasuk kamar khusus dan istimewa yang biasanya disediakan untuk pemuka yang biasanya memimpin upacara keagamaan.Wiuh kami jadi ngeper. Aku terang-terangan menolak tidur disana. Akhirnya semua pun tidur di rumah induk dan tak jadi mencoba tidur di paviliun itu. Sebagai gantinya nenek dan ibu sohibku yang tidur disana. Suasana malam di Tabunampuun cukup mencekam.Meski sudah adalampu tapi jalan di sekitarnya gelap. Yang bikin kami sempat stress adalah saat itu sinyal indosat belum sampai ke tempat tersebut.Jadilah sebagian besar dari kami gigit jari karena tidak bisa kontak dengan siapapun.
Tapi akhirnya kami pun bisa tidur meski awalnya ketakutan mendengar sura anjing melolong di malam hari. Besuknya kami mendapat cerita dari ibu sohibku kalo neneknya bermimpi dan menginggau ditemui penunggu paviliun itu semalam. "Dimanakah bujang bujang jegeg itu." Kami jadi makin takut dan pingin pulang.Meski begitu kami kuatkan hati untuk menginap semalam lagi di tempat tersebut. Salah satu yang terngiang di benakku dan paling berkesan selama di Tembuku adalah setiap aku sholat, kedua saudara sepupu sohibku yang masih berusia anak-anak selalu menunggui dan memandang dengan penuh takjub. "Memangnya kalian belum pernah lihat orang sholat?"tanyaku. Mereka langsung menggeleng-gelengkan kepala. " Pernah sih tapi cuma di TV." jawabnya jujur. Aku langsung mengerti mengingat Bangli bukan Denpasar yang penduduknya sudah heterogen. Bangli masih benar-benar asli Bali. Penduduknya mayoritas Hindu. Masjid pun dalam satu kabupatennya mungkin jumlahnya kurang dari 5. Suasananya benar-benar tradisional Bali.Tiap hari kami mesti lihat orang memasang bunga pemujaan dipura atau tempat-tempat yang mereka anggap sakral. Setiap kendaraan pribadi atau umum saja juga dipasang bunga dalam janur itu. Memilih makanan di sana juga mesti hati-hati karena mereka banyak memasak dengan bahan dasar babi. Saat kami ikut keluarga sohibku berjalan ke rumah kerabatnya di daerah Peninjauan. Kami sempat melewati kebun salak yang rimbun. Semua mesti hati hati saat berjalan karena kadang bisa bertemu ular.Kami juga melewati salah satu pura besar di tengah kebun yang terlihat seram karena di bawah pohon beringin.Aku takbisa bayangin jika melewati tempat itu di malam hari pasti lebih mengerikan lagi. Kami lihat pula kerumunan orang yang sedang adu ayam.Ternyata sabung ayam masih merupakan tradisi di daerah ini. Padahal semestinya dilarang sebab rawan dan sarat perjudian. Saat berkunjung ke rumah kerabat sohibku tersebut kami agak khawatir sebab sebagian besar memiliki anjing. Kalo anjing ras kami takbakal takut. Kalo anjing Bali tunggu dulu. Bali terkenal dengan rabiesnya. Makanya kami tak berani dekat dekat dengan anjinganjing liar tersebut. Tapi kami sangat berkesan selama di Bangli ini karena disambut penduduk dengan baik dan ramah. Pulangnya kami dibawakan oleh-oleh salak, dan kacang tanah yang merupakan khas tempat tersebut. Meski seram tapi kami takkapok datang kesana. Terbukti dua tahun lalu aku dan sohib2ku kembali datang ke tempat tersebut. Sudah cukup banyak kemajuan dibanding kedatangan kami sebelumnya. Sinyal telepon sudah tak bermasalah. Kami juga sudah tak setakut dulu. Bangli tetap asyik untuk dikunjungi sebab disinilah sebenar-benarnya masyarakat Bali.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Memang kalau mau tahu tentang kehidupan keseharian masyarakat bali yg sebenarnya ada di kab. bangli, gianyar, klungkung, karangasem, pupuan masih terjaga dgn baik.. beda dengan kehidupan di denpasar dan kab. badung. 6 tahun tinggal di Bali membuatku ingin kembali dan menetap disana. Pada dasarnya penduduk bali menghormati kita kaum pendatang asalkan kita mau berbaur dgn mereka dan tidak menyalahin aturan adat mereka.

Yuni Rachmi mengatakan...

Thanks komennya, Met. Sorry jarang cek komen jadi telat balasnya. Bali pancen oke. Aku jadi pingin kesana supaya bisa berbagi cerita tentang keindahan tempat, kelezatan makanan dan keaneragaman budayanya.