Selasa, April 21, 2009
Jalan-jalan ke Purwokerto
Purwokerto merupakan salah satu kota yang sangat tidak asing lagi bagi sebagian besar orang. Biasanya orang menyebutnya sebagai kotanya Mayangsari, (salah satu artis yang cukup fenomenal) karena Mayangsari memang berasal dan punya rumah mewah di kota ini. Sampai saat ini mungkin baru sekitar 5 kali saja aku mengunjungi kota ini. Kalau hanya melewati setasiun Purwokerto sih sering jika kebetulan aku naik KA Gajayana dari Jakarta ke Kediri atau sekaliknya. Baru-baru ini salah seorang relasi mengundang datang ke kennelnya yang berada di Purwokerto. Tentunya kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Sebab sembari bertugas aku bisa mengunjungi salah satu sahabatku semasa kuliah yang memang berdomisili di Purwokerto. Aku sengaja berangkat sabtu pagi kemarin dari Kediri. Setelah berganti bis hingga 3 kali akhirnya sampai pula aku di kota Purwokerto pada pukul 7 malam. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan sudah seperti naik KA dari Jakarta ke Surabaya saja lamanya. Tetapi letih langsung hilang begitu disambut sahabat yang lama tak bersua. Kami bisa bertemu sejenak melepas rindu. Hari Minggunya aku diajak sohibku berjalan-jalan mengelilingi kota Purwokerto. Menyenangkan sekali sebab sama sekali tak ada kesan semrawut. Kami bisa mengendarai sepeda motor dengan santai. Memang cocok bila juga dijuluki kota Pensiunan. Padahal bila dipikir-pikir Purwokerto termasuk salah satu kota besar di Jawa Tengah sesudah Solo dan Semarang. Di kota ini juga terdapat Kampus Universitas Jendral Sudirman (UNSOED) yang cukup diminati pelajar di Jawa tengah. Tetapi entah mengapa kesan tenang dan santai masih benar-benar kental terasa. Aku sempat melewati Masjid Agung Purwokerto yang megah. Lalu melihat Alun-alun yang besar, dengan rumput yang bersih dan rapi banget. Di Purwokerto juga ada Museum Bank. Di kota inilah ternyata cikal bakal sejarah perbankan Indonesia berasal. Aku juga diajak jalan-jalan ke Moro, swalayan terbesar di kawasan Banyumas ini. Selain itu kami menyempatkan diri jajan berbagai makanan khas Purwokerto. Diantaranya serabi Purwokerto. Serabi Purwokerto jelas berbeda dengan serabi Solo. Menurutku lebih mirip surabi bandung. Bahan dasarnya sepertinya tepung beras. Dibagian atasnya diberi campuran gula merah. Jadi rasanya manis dan gurih. Harganya murah sekitar Rp. 750,-. Serabi Purwokerto yang paling laris bisa di beli di jl Bank dan depan SMPN 5 Purwokerto. Sebenarnya aku hendak diajak makan siang ke Soto Sokaraja yang lebih ngetop tapi berhubung berada di pinggiran kota aku agak segan. panas.hehehe. Kami pun akhirnya makan soto ayam H.Laso atau yang lebih dikenal dengan soto jl.bank. Soto khas Purwokerto ini juga biasa disebut sroto. Penyajiannya agak berbeda dengan soto ayam lamongan atau daerah lainnya. Umumnya disajikan dengan potongan kupat, mihun, ayam suwir, dan krupuk. Yang paling membedakan sambalnya itu sambal kacang. Rasanya cukup enak. Cuma kalo aku boleh sedikit mengkritik penyajiane kurang menyenangkan. Pembeli tidak bisa memilih bagian ayam yang disukai (sayap, kepala, ati, ampela dll) seperti saat kita membeli soto ayam lamongan di Surabaya. Selain itu kuahnya kurang panas jadi mengurangi kenikmatan rasanya. Aku malah lebih suka dengan es campurnya. Es campur yang disajikan dalam gelas dengan isi kolang kaling , cao dengan santan dan sirup merah plus susu itu sangat enak dan segar sekali. Bikin ketagihan deh. Sore harinya aku sempat mencicipi pula mendoan khas Purwokerto yang enak itu. Mendoan ini paling enak dimakan panas-panas dengan sambal kecap. Cukup banyak penjual mendoan di kota ini tetapi yang banyak dikunjungi wisatawan luarkota yang di jalan Sawangan, pusatnya toko oleh2 khas Purwokerto. Disini kita juga beli mendoan mentah, tepung hingga sambal kecapnya. Hari Seninnya, sesudah makan di warung Intan Sari di jl. Angka yang menyajikan berbagai makanan rumahan yang enak dan cukup terkenal di Purwokerto, aku diajak relasi mengunjungi kennelnya di kawasan Baturaden. Villanya tepat berada di atas lokawisata Baturaden. Suasana benar-benar menyenangkan. Pemandangannya sangat bagus dan indah. Dari Vila yang bernama Edelweis itu kami bisa menyaksikan pemandangan beberapa kota dari jarak jauh seperti Nusakambangan, Purbalinga hingga Purwokerto kota. Udaranya cukup dingin. Tak mengherankan karena tepat berada di lereng gunung Selamet. Makanya sangat cocok untuk refreshing melepas lelah. Aku sudah ditawari boleh menginap di villa tersebut kapanpun bila perlu transit di Purwokerto. Tawaran yang menggiurkan dan bisa dipertimbangkan.hehehe. Sayang aku cuma 3 malam di Purwokerto dan mesti melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Tapi sekeresek oleh-oleh ternyata sudah disiapkan untuk kubawa. Isinya kripik tempe, lanting, nopia yang merupakan oleh-oleh khas Purwokerto. Wah lumayan jadi tak perlu membeli oleh2 nih buat teman-teman di Jakarta.hahaha
Kamis, April 16, 2009
Tembuku
Bali merupakan tempat liburan yang paling diminati.Tak hanya oleh wisatawan domestik tapi juga oleh pelancong manca negara.Tak dipungkiri hal ini karena Bali memang memiliki tempat wisata yang sangat indah-indah. Sebut saja Pantai Kuta, Sanur,Tanah Lot, Kintamani dan sebagainya. Meski aku juga senang mengunjungi tempat-tempat wisata tersebut bila sedang piknik ke Bali tapi kali ini aku ingin bicara mengenai sisi lain dari Bali. Kebetulan salah satu sohibku keluarganya asal Bali. Meski ia lahir dan besar serta berdomisili di Surabaya tetapi karena nenek dan kerabatnya masih tinggal di Bali maka setahun sekali ia mesti pulang kampung ke Bali.Sekitar 5 tahun yang lalu aku bersama sohib-sohibku pernah ikut dia mudik ke Bali atau Bangli tepatnya,yaitu sebuah kota kecil yang perlu ditempuh sekitar1-2 jam dari Denpasar. Saat itu kami menempuh perjalanan darat dengan menggunakan kereta api dari Surabaya ke Ketapang dan langsung naik bis yangsudah disediakan PJKA hingga Ubung. Perjalanan dilanjutkan via Batu Bulan dengan menyewa kolt atau angkutan pedesaan.Karena waktu itu kami pergi beramai-ramai 6 orang kupikir supir angkot tak bakal menaikkan penumpang lainnya. Tetapi ternyata keliru di tengah jalan supir dan kernet menaikkan seorang ibu-ibu yang membawa barang bawaan buah nangka. Aku takbegitu memperhatikan tapi tahu-tahu saat si ibu itu turun di tengah jalan salah seorang teman yang ikut dalamrombongan kami membeli nangka itu. Kami sempat heran kok mau-maunya membeli nangka di jalan. Kenapa tidak nanti saja jika sudah diBangli tapi kami memilih membiarkan aja. Sesudah menempuh perjalanan yang cukup jauh melewati sawah, hutan, daerah naik turun maka kami pun sampai di tempat tujuan yaitu daerah bernama Tambunampun Tembuku Bangli. Kami disambut oleh keluarga sohibku yang lebih dulu berlibur di sana juga nenek dan para kerabatnya. Mereka menyambut kami dengan senang. Tapi saat melihat salah satu dari kami membawa buah nangka mereka langsung heran. "Kenapa beli buah nangka. Di sini buah Nangka banyak banget, sampai sampai biasa buat makan babi" kata bibi sohibku. Tak pelak hal itu mengundang tawa kami. Teman yang membeli buah nangka tersebut cuma bisa tersenyum kecut dan malu. Terus terang kami takjub saat sampai disana. Rumahnya lumayan bagus sama seperti rumah di kampung2 di Jawa. Bangunannya sudah lumayan modern dengan halaman yang cukup luas dengan berbagai jenis tanaman dan beberapa ekor babi sebagai binatang piaraan . Yang membedakan di halaman depan ada bangunan seperti gasebo. Bangunan tersebut biasa disebut sekenem dan biasa dipakai untuk tempat jenasah menunggu sebelum dibakar atau ngaben. Tak hanya itu pula di depan paviliun ada pura keluarga. Sepertinya hampir setiap rumah di Bali punya pura keluarga sendiri-sendiri. Sesudah senang-senang melepaslelah, sebagian dari kami memutuskan untuk tidur di paviliun depan. Tapi entah mengapa rasanya agak aneh saja aku melihat kamar di pavilun depan ini. Kami sempat ngakak-ngakak di depan kamar ini. Tapi begitu malam ternyata lampu di depan kamar tersebut padam sehingga kami berpikir ulang sebelum tidur di kamar itu. Apalagi belakangan kami diberi tahu bahwa kamar itu termasuk kamar khusus dan istimewa yang biasanya disediakan untuk pemuka yang biasanya memimpin upacara keagamaan.Wiuh kami jadi ngeper. Aku terang-terangan menolak tidur disana. Akhirnya semua pun tidur di rumah induk dan tak jadi mencoba tidur di paviliun itu. Sebagai gantinya nenek dan ibu sohibku yang tidur disana. Suasana malam di Tabunampuun cukup mencekam.Meski sudah adalampu tapi jalan di sekitarnya gelap. Yang bikin kami sempat stress adalah saat itu sinyal indosat belum sampai ke tempat tersebut.Jadilah sebagian besar dari kami gigit jari karena tidak bisa kontak dengan siapapun.
Tapi akhirnya kami pun bisa tidur meski awalnya ketakutan mendengar sura anjing melolong di malam hari. Besuknya kami mendapat cerita dari ibu sohibku kalo neneknya bermimpi dan menginggau ditemui penunggu paviliun itu semalam. "Dimanakah bujang bujang jegeg itu." Kami jadi makin takut dan pingin pulang.Meski begitu kami kuatkan hati untuk menginap semalam lagi di tempat tersebut. Salah satu yang terngiang di benakku dan paling berkesan selama di Tembuku adalah setiap aku sholat, kedua saudara sepupu sohibku yang masih berusia anak-anak selalu menunggui dan memandang dengan penuh takjub. "Memangnya kalian belum pernah lihat orang sholat?"tanyaku. Mereka langsung menggeleng-gelengkan kepala. " Pernah sih tapi cuma di TV." jawabnya jujur. Aku langsung mengerti mengingat Bangli bukan Denpasar yang penduduknya sudah heterogen. Bangli masih benar-benar asli Bali. Penduduknya mayoritas Hindu. Masjid pun dalam satu kabupatennya mungkin jumlahnya kurang dari 5. Suasananya benar-benar tradisional Bali.Tiap hari kami mesti lihat orang memasang bunga pemujaan dipura atau tempat-tempat yang mereka anggap sakral. Setiap kendaraan pribadi atau umum saja juga dipasang bunga dalam janur itu. Memilih makanan di sana juga mesti hati-hati karena mereka banyak memasak dengan bahan dasar babi. Saat kami ikut keluarga sohibku berjalan ke rumah kerabatnya di daerah Peninjauan. Kami sempat melewati kebun salak yang rimbun. Semua mesti hati hati saat berjalan karena kadang bisa bertemu ular.Kami juga melewati salah satu pura besar di tengah kebun yang terlihat seram karena di bawah pohon beringin.Aku takbisa bayangin jika melewati tempat itu di malam hari pasti lebih mengerikan lagi. Kami lihat pula kerumunan orang yang sedang adu ayam.Ternyata sabung ayam masih merupakan tradisi di daerah ini. Padahal semestinya dilarang sebab rawan dan sarat perjudian. Saat berkunjung ke rumah kerabat sohibku tersebut kami agak khawatir sebab sebagian besar memiliki anjing. Kalo anjing ras kami takbakal takut. Kalo anjing Bali tunggu dulu. Bali terkenal dengan rabiesnya. Makanya kami tak berani dekat dekat dengan anjinganjing liar tersebut. Tapi kami sangat berkesan selama di Bangli ini karena disambut penduduk dengan baik dan ramah. Pulangnya kami dibawakan oleh-oleh salak, dan kacang tanah yang merupakan khas tempat tersebut. Meski seram tapi kami takkapok datang kesana. Terbukti dua tahun lalu aku dan sohib2ku kembali datang ke tempat tersebut. Sudah cukup banyak kemajuan dibanding kedatangan kami sebelumnya. Sinyal telepon sudah tak bermasalah. Kami juga sudah tak setakut dulu. Bangli tetap asyik untuk dikunjungi sebab disinilah sebenar-benarnya masyarakat Bali.
Warung Mejoyo
Mi Kediri
Sabtu besuk aku sudah mesti berangkat tugas ke Jakarta lagi. Tapi aku sempatin pulang sebentar ke Kediri. Selain melepas kangen dengan mama, tentunya rindu pula akan makanan makanan khas kediri yg udah agak lama terlupakan selama aku di Surabaya. Salah satu menu yang kali ini ingin kusantap adalah mi tektek.Aku tak tahu mulai kapan menu mi goreng jadi terkenal di kota kediri. Mi goreng made ini kediri tuh emang lain daripada yang lain. Mi nya digoreng dengan menggunakan arang. Dimasak dengan menggunakan telur dan irisan ayam.Terkadang juga dengan irisan tomat. Yang bikin lezat adalah menggunakan kaldu daging ayam pula. Sebenarnya ada tiga versi mi yang tersedia yaitu mi goreng biasa, rebus dan nyemek (setengah goreng setengah rebus). Umumnya penjual mi goreng di Kediri tak hanya menjual menu mi goreng saja meski itu yang paling di gemari tapi juga menjual nasi goreng, nasi mawut (mi campur nasi), sop dan krengsengan ayam. Rasanya tentu sama enaknya dengan mi goreng. Takheran jadi makanan kebanggaan kota kediri. Sekarang ini cukup banyak penjual mi tektek di kediri. Di sepanjang jalan utama, seperti jalan doho, patimura, hayam wuruk hingga pasar pahing banyak berjejer penjual mi tektek ini. Tentunya setiap orang punya langganan sendiri-sendiri. Jika sedang musim,liburan hampir sebagian besar pedagang mi ini rame dikerumi pembeli. Berdasarkan survey beberapa penjual mi tektek yang paling laris di kediri diantaranya adalah Mi tektek pak Man jalan setasiun, mi pak No depan kantor telkom jl. Hayam Wuruk, mi Pendek jl Hasanudin, Mi pakTemon Gudang Garam Dandangan dan mi mbah Riman di Sersan KKO Usman. Harga mi/nasi goreng tersebut bervariasi mulai 5000 perak hingga 8000 perak. Terus terang aku tidak terlalu fanatik makan mi pada satu tempat sebab menurutku sebagian besar mi kediri enakrasanya. Aku sekarang paling suka nongkrong makan mi di depan hotel penataran jalan doho. sebab selain karena tempatnya asyik buat ngobrol ama teman2 juga bisa sekalian minum es degan yang dijual di sebelahnya. Atau jika pingin takut ga kehujanan nongkrong di warung mi mbah riman di sersan KKAO Usman. Kalo disini lebih nyantai lagi buat ngobrol lama2, sekalian ikut nonton TV sambil makan mi dan minum jahe panas. Nikmat. Saking terkenalnya mi kediri, sekarang sudah banyak pedagang mi kediri ini yang membuka gerai atau cabang dikota-kota besar seperti Malang, Surabaya dan Jakarta. Pokoke soal makanan kediri top abis.
Langganan:
Postingan (Atom)